Reviu Informasi Strategis Energi dan Mineral Harian, 13 Desember 2022

I. Sektor Minyak dan Gas Bumi

Transparansi DBH Migas, Bupati Kepulauan Meranti meradang dipicu pembagian dana bagi hasil (DBH) produksi minyak yang nilainya dianggap terlalu kecil. Hal ini kontradiksi dengan produksi minyak Meranti yang terus meningkat di tengah naiknya harga minyak dunia dan naiknya nilai tukar dollar AS. Saat ini Meranti mampu memproduksi minyak mentah hingga 7.500 barel per hari dari sebelumnya 3.000-4.000 barel per hari. Meski demikian, DBH yang diberikan tahun ini sebesar Rp 115 miliar, yang artinya hanya naik sekitar Rp. 700 juta dari tahun sebelumnya.

Kemenkeu mengungkapkan, meski alokasi DBH Migas Kabupaten Meranti turun, namun alokasi DAU ke daerah tersebut justru naik 3,67% menjadi Rp422,56 miliiar. Akan tetapi, indikator kinerja pengelolaan anggaran DTU yang terdiri dari DAU dan DBH di Kabupaten Meranti masih lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Meranti sendiri baru merealisasikan belanja wajib 9,76% jauh dari rerata nasional yang mencapai 33,73%. Artinya, penyerapan di Kabupaten Meranti masih rendah dan dirasa belum optimal dalam mengelola anggaran dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) menyarankan penambahan variable windfall tax terhadap keuntungan sumber daya alam, baik untuk perusahaan migas tambang, maupun perkebunan bvesar.  Hal ini mengingat harga minyak mentah saat ini naik segnifikan dan perlu dievaluasi kembali untuk DBH. Diharapkan windfall tax atau pajak terhadap kenaikan harga komoditas nantinya akan dialirkan langsung ke pemerintah daerah sebagai dana bagi hasil sumber daya alam.

Disisi lain, DPR meminta Presiden untuk meninjau ulang semua aturan terkait dana bagi hasil, termasuk meninjau ulang besaran bagi hasil dan komponen perhitungannya. Direktur Energy Watch menilai pemerintah perlu merivisi UU 33/2004 agar sesuai dengan kondisi saat ini dimana daerah penghasil menginginkan DBH yang jauh lebih besar. Selain itu, revisi UU Migas no. 22/2001 dirasa mampu menjadi pintu masuk awal terkait dengan DBH sektor migas.

Perlu diketahui, Blok yang terdapat di Kepulauan Meranti adalah Blok Malaca Strait. Blok ini dijalankan dengan sistem production sharing contract (PSC) dan berlokasi di Kabupaten Meranti dan Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Blok tersebut meliputi wilayah darat dan lepas pantai Semenanjung Malaka dengan luas awal mencapai 39.550 kilometer persegi. Setelah dua kali relinquishment (pengembalian wilayah konsesi kepada pemerintah), luasnya kini hanya 7.027,71 kilometer persegi.

II.Sektor EBTKE Dan Ketenagalistrikan

Program Konversi Sepeda Motor Listrik Mentok Dimasalah Anggaran, KESDM telah menyusun peta jalan program konversi sepeda motor listrik. Tahun ini, pemerintah menargetkan konversi 1.000 unit motor. Harapannya, jumlah terus meningkat hingga 10.000 unit pada 2023, berlanjut 100.000 unit (2024), 1 juta unit (2025), hingga 5 juta unit (2026). Namun implementasinya seperti yang diharapkan, setidaknya program konversi motor listrik terkendala dua masalah utama, yakni pasokan motor konvensional (BBM) dan anggaran. Hingga saat ini, KESDM mengungkapkan, realisasi program konversi motor BBM ke motor listrik baru mencapai 148 unit.

Program ini juga terganjal biaya bagi masyarakat yang ingin melakukan konversi. Biaya konversi masih mahal atau berkisar RP. 15 juta per unit. Sedangkan KESDM tak punya anggaran untuk mendanai konversi. Oleh karena itu KESDM aktif melakukan diskusi soal subsidi kendaraan listrik ini nantinya subsidi ke konversi motor listrik tidak hanya membidik subsidi baterainya saja, nantinya akan ada perhitungan dari seluruh komponen motor. Dan diharapkan dengan adanya insentif (subsidi) akan menjadi angin segar bagi masyarakat serta sangat membantu kelangsungan produsen.

III. Sektor Geologi, Mineral, Batubara dan Umum

Ombudsman Temukan Maladministrasi Sektor Tambang. Dalam rangka pencegahan maladministrasi, Ombudsman RI telah menyelesaikan Kajian Sistemik (Systemic Review) Tata Kelola Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kajian tersebut mengambil sampel di lima provinsi yakni Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Kajian ini memuat temuan, kesimpulan, serta saran perbaikan regulasi tata kelola IUP kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Menteri Keuangan.

Anggota Ombudsman RI, mengatakan kajian sistemik ini selain untuk mencegah maladministrasi, juga bertujuan untuk mencegah terjadinya laporan masyarakat yang berulang mengenai IUP. Permasalahan dalam proses perizinan tata kelola IUP diawali sejak perizinan masih di tingkat kabupaten/kota, kemudian dialihkan kewenangannya ke provinsi pada tahun 2015, lalu pada tahun 2020 kewenangannya ditarik ke pemerintah pusat. Salah satu permasalahan yang muncul adalah tidak clean and clear-nya IUP pada saat proses peralihan kewenangan tersebut.

Peralihan kewenangan IUP ke pemerintah pusat telah terjadi berbagai permasalahan dalam hal maladministrasi, antara lain penundaan berlarut, diskriminatif dan tidak memberikan pelayanan. Pengalihan kewenangan izin usaha pertambangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi dan pusat masih ditemukan tidak memenuhi asas profesional, ketelitian dan transparansi.

Ombudsman menemukan bahwa pada proses pencatatan, administrasi dan kearsipan tidak memadai, sehingga sulit mencari dan mengakses data pertambangan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan standar pelaksanaan pengalihan kewenangan. Ombudsman juga menemukan adanya kendala teknis pada Online Single Submission (OSS) sebagai sistem perizinan terpadu berbasis elektronik.

Kesimpulan hasil kajian pada aspek regulasi ialah bahwa Keputusan Menteri ESDM Nomor 15.K/HK.02/MEM.B/2022 yang mengatur tentang pembatasan laporan dari segi waktu dan masih aktifnya IUP cenderung bersifat diskriminatif. Ketentuan pada Kepmen ESDM tersebut pada diktum empat huruf b, membatasi klasifikasi pelapor dengan menentukan batas waktu belum lewat dua tahun sejak pertama kali permohonan perizinan pada saat Izin Usaha Pertambangan masih berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak didasarkan oleh ketentuan yang tepat dan perlu dilakukan revisi.

Terkait Surat Edaran Nomor 1.E/HK.03/MEM.B/2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, Ombudsman memberikan catatan.

Pertama, Surat edaran tersebut ditujukan kepada Gubernur, Kepala Dinas yang membidangi urusan energi dan sumber daya mineral serta kepala Dinas PMPTSP untuk memproses perizinan dan mengatur masa transisi. Namun dalam Surat Edaran dimaksud tidak secara jelas mengatur pengawasan, penanganan pengaduan dan permasalahan lingkungan terkait dengan pendelegasian izin tersebut. Surat Edaran tersebut hanya ditujukan kepada ketiga pihak di atas, tanpa ditujukan kepada Dinas Lingkungan Hidup, dan tidak ditembuskan kepada Menteri LHK. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri dengan memisahkan antara regulasi pertambangan dengan regulasi lingkungan hidup sebagai persyaratannya.

Kedua, agar Kementerian ESDM secara aktif memberikan informasi yang transparan kepada pemohon penerbitan, pencatatan atau perpanjangan izin usaha pertambangan mengenai tindak lanjut laporannya dan hal-hal yang perlu dilengkapi dengan sistem penanganan laporan pertama (first come first served). Kepada Menteri Investasi Bersama Menteri ESDM, Ombudsman memberikan saran agar melakukan penyempurnaan sistem dan peningkatan keandalan sistem perizinan berusaha Online Single Submission Risk Based Approach (OSS – RBA) terkait izin usaha pertambangan. Kepada Menteri LHK bersama Menteri ESDM agar mempercepat proses integrasi pengurusan perizinan/persetujuan lingkungan dengan data izin usaha pertambangan yang terkoneksi dengan OSS RBA. Sistem tersebut untuk memudahkan evaluasi dan monitoring terpadu terhadap izin usaha pertambangan dari aspek teknis dan lingkungan.

Ketiga, Kepada Menteri Keuangan untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan transparansi perhitungan target dan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA Minerba serta perhitungan dan penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) SDA Minerba melalui optimalisasi pelaksanaan kegiatan bedah kertas kerja tentang perhitungan realisasi dengan melibatkan stakeholder termasuk pemerintah daerah agar mempercepat realisasi pembayaran kurang bayar DBH dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.