Reviu Informasi Strategis Energi dan Mineral Harian, 20 Maret 2023

Prospek Penggunaan Gas Alam Dalam Pelaksanaan Transisi Energi.

Gas alam diarahkan untuk  menjadi salah sumber energi alternatif yang menjadi pilihan utama khususnya di Indonesia dalam transisi energi, mengingat ketersediaan cadangan gas Indonesia saat ini lebih besar dari cadangan minyak yang dimiliki. Berdasarkan status cadangan pada tahun 2021, dengan asumsi tingkat produksi saat ini, usia cadangan minyak dan gas Indonesia dapat mencapai 20 tahun. Hal ini tidak tentunya belum cukup jika dibandingkan dengan target pencapaian net zero Indonesia pada tahun 2060, sehngga sangat diperlukan optimalisasi cadangan gas khususnya untuk mendukung target pemerintah untuk mencapai produki 12 BSCFD pada 2030 melalui kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi. Peningkatan cadangan gas alam di Indonesia sangat prospektif dibandingkan dengan minyak bumi mengingat lebih dari 50% penemuan sumur eksplorasi dalam 10 tahun terakhir lebih banyak berupa gas dan rata-rata 70% POD merupakan pengembangan lapangan gas. Ditambah lagi Reserves to Production Gas Indonesia 2 kali lebih besar dibandingkan minyak bumi.

Berdasarkan rencana saat ini dari 2023-2025 ada 8 proyek dengan rentang produksi gas 25 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) hingga  700 MMSCFD dengan total cadangan lebih dari 6,2 Triliun Cubic Feet (TCF). Beberapa proyek yang akan mendukung rencana jangka pendek ini antara lain lapangan gas Jambaran Tiung Biru dengan produksi 190 MMSCFD dan cadangan 1,23 TCF, Tangguh Train 3 dengan produksi 700 MMSCFD dan cadangan 2,5 TCF, dan lapangan MDK MAC produksi 74 MMSCFD dan cadangan 131,2 Billion Cubic Feet (BCF).

Kemudian untuk rencana jangka menengah 2026-2028, ada 13 proyek dengan rentang produksi di 50 MMSCFD hingga 1.750 MMSCFD dengan total lebih dari 21 TCF cadangan gas. Beberapa proyek yang akan mendukung rencana pasokan gas ini ialah dari lapangan Ubadari, Abadi Masela, IDD, Asap-Kido-Merah, dan Nunukan.

Secara global, prospek gas alam sangat tergantung pada  peningkatan kebutuhan di negara berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang dilakukan serta peralihan yang dilakukan oleh negara maju dari gas alam ke energi rendah karbon. Peningkatan penggunaan gas didorong oleh pertumbuhan yang kuat di Tiongkok dalam melakukan peralihan batubara ke gas serta India dan negara berkembang Asia yang lain. Dalam mencapai net zero, penggunaan gas di negara berkembang diperkirakan terus meningkat puncaknya sampai dengan tahun 2030. Setelah itu konsumsi gas cenderung akan menurun seiring dengan peningkatan elektrifikasi dan penggunaan energi terbarukan. Peningkatan penggunaan gas alam terlihat untuk kebutuhan hydrogen.

Di sisi lain, apabaila negara berkembang tidak melakukan strategi pencapaian emisi net zero, permintaan gas alam akan tetap tumbuh terutama pada sektor tenaga listrik. Permintaan gas alam di tahun 2050 tanpa adanya upaya pencapaian emisi net zero diperkirakan sekitar 20% lebih tinggi dari level 2019.

Utilitas Jepang Ingin G7 Mengizinkan Negara-negara untuk Mengatur Jalur Mereka Sendiri Menuju Transisi Energi

Utilitas listrik Jepang menginginkan pada pertemuan iklim G7 di Tokyo mendatang masing-masing negara dapat mempromosikan road map menuju transisi energi, kepala badan industri mereka mengatakan pada hari Jumat. Sebagai ketua Kelompok Tujuh negara (G7) tahun ini, Jepang akan menjadi tuan rumah pertemuan tingkat menteri tentang iklim, energi, dan lingkungan di kota utara Sapporo pada 15-16 April, menjelang KTT G7 di Hiroshima pada 19 Mei- 21, untuk mempromosikan apa yang disebut Jepang sebagai transisi energi yang realistis.

Krisis energi yang disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina telah mengajarkan banyak negara, termasuk di Eropa, bahwa kondisi setiap negara berbeda sehingga mereka harus menemukan solusi realistis yang sesuai dengan keadaan negara dalam menghadapi transisi energi, menurut Kazuhiro Ikebe, ketua federasi utilitas listrik Jepang.  Dan diharapkan pada KTT G7, diskusi  akan mengarah pada pemahaman bersama bahwa setiap negara harus mengambil langkah-langkah dekarbonisasi sesuai dengan situasi aktual negara. Selain itu, Pemerintah Jepang juga mengingininkan  adanya fleksibilitas mengenai aturan yang ketat tentang bagaimana negara harus beralih ke energi yang lebih bersih terhadap beberapa negara anggota G7, dikarenakan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil, termasuk batu bara, masih sangat penting bagi negara-negara Asia, termasuk Jepang. Pengalihan batu bara ke gas alam memang perlu dalam memajukan transisi energi, tetapi karena listrik mutlak diperlukan untuk kehidupan masyarakat dan kegiatan ekonomi, setiap negara harus mengambil jalur transisi energi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Jepang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 46% pada tahun 2030 dibandingkan tingkat tahun 2013 dengan meningkatkan energi terbarukan dalam bauran listriknya menjadi 36%-38%, menggandakan tingkat tahun 2019, dan tenaga nuklir menjadi 20%-22% dari tahun 2019 sebesar 6%. Emitor terbesar kelima di dunia ini juga bertujuan untuk memangkas pangsa batubara menjadi 19% pada tahun 2030, dari 32% pada tahun 2019, dan pangsa gas menjadi 20% dari 37%.

Indonesia Mungkin Memegang Kunci Produksi Smelter Aluminium China

Berdasarkan International Aluminum Institute, China adalah produsen dan konsumen aluminium terbesar di dunia. China menyumbang sekitar 59% dari produksi aluminium primer global pada tahun 2022. Aluminium memainkan peran penting dalam ekonomi global dan kini menjadi semakin penting dalam cerita transisi energi. Hal ini ditunjukkan dengan aplikasi aluminium di sektor-sektor seperti kendaraan listrik, jaringan listrik, fotovoltaik surya, dan lain-lain. Sampai batas tertentu, itu juga berkontribusi pada sektor-sektor seperti hidrogen dan tenaga angin.

Tetapi produksi aluminium juga merupakan proses intensif energi dan karbon. Menurut International Energy Agency, Aluminium berkontribusi sekitar 3% dari emisi gas rumah kaca global pada tahun 2021. Saat ini China memacu diri untuk mencapai target transisi energi yang tinggi, tekanan pada industri aluminium dalam negeri semakin meningkat. Sehingga perlu mencapai keseimbangan antara memenuhi kebutuhan ekonomi kritis dan mengendalikan konsumsi energi dan emisi.

Garis batas yang tidak dapat dilampaui oleh industri aluminium adalah batas produksi China sebesar 45 juta mt/tahun. Tetapi permintaan yang kuat dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan peningkatan produksi di dalam negeri, meninggalkan ruang terbatas untuk kapasitas China untuk tumbuh di tahun-tahun mendatang. Pada akhir tahun 2022, kapasitas mapan China mencapai 44,3 juta mt/tahun dan kapasitas berjalan mencapai 40,64 juta mt/tahun. Pabrik peleburan China diharuskan mengamankan kuota kapasitas aluminium primer jika mereka mencari proyek baru atau memperluas kapasitas sejalan dengan kebijakan reformasi sisi pasokan China. Kebijakan ini membuat China menutup beberapa pabrik yang tidak efisien dan menimbulkan polusi sejak 2017.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa smelter di China mengalihkan kapasitasnya ke China barat daya, khususnya ke provinsi Yunnan dan Sichuan, yang terkenal dengan sumber daya tenaga airnya yang kaya. Menurut S&P Global Ratings Kapasitas aluminium di Yunnan, Guangxi, dan Sichuan meningkat sebesar 5,9 juta mt/tahun dari 2017 hingga Agustus 2022, dengan Yunnan saja menyumbang 62% dari peningkatan tersebut. Langkah ini juga memberi smelter akses ke listrik yang lebih murah yang dibutuhkan untuk menggerakkan proses peleburan. Listrik biasanya menyumbang lebih dari 33% dari biaya produksi aluminium primer.Namun kekurangan listrik yang sering terjadi di provinsi seperti Yunnan dan Sichuan akibat gelobang panas telah merusak rencana produksi pabrik peleburan, memaksa mereka untuk memikirkan kembali strategi transfer kapasitas mereka. Menimbulkan kekhawatiran apakah pasokan listrik di China barat daya akan mampu memenuhi peningkatan kapasitas. Selain itu, smelter yang menggunakan tenaga termal juga menghadapi biaya produksi yang tinggi akibat kenaikan harga batu bara karena pembangkit batu bara menghadapi tekanan untuk memenuhi target rendah karbon.

Pabrik peleburan aluminium utama China ingin mentransfer beberapa kapasitas ke luar negeri – terutama ke Indonesia – karena mereka berjuang dengan batas kapasitas nasional dan kekurangan pasokan listrik di bagian barat daya negara tersebut. Langkah tersebut dinilai tepat, karena Indonesia mulai bulan Juni ini akan melarang ekspor bauksit, bahan baku awal yang digunakan untuk mengolah aluminium.

Indonesia adalah rumah bagi cadangan sumber daya mineral yang kaya. Nasionalisme sumber daya telah tumbuh di Indonesia sejak 2014, ditunjukkan oleh keinginan pemerintahnya untuk mengembangkan rantai nilai industri di dalam negeri sendiri daripada menjual bahan mentah secara global. Menurtut US Geological Survey, produksi bauksit Indonesia menyumbang sekitar 5% dari produksi global pada tahun 2020, tetapi hanya 1% dari alumina.

Setelah pelarangan, perusahaan China secara bertahap melakukan perburuan mineral, sementara pada saat yang sama, diminta untuk membangun kilang alumina atas permintaan pemerintah daerah. Larangan bauksit bisa menjadi kemungkinan rencana Indonesia untuk menarik smelter China untuk mentransfer kapasitas aluminium utama mereka ke Indonesia. Manfaat lain yang mencolok dari pengalihan kapasitas ke Indonesia adalah bahwa negara tersebut memiliki jarak angkut yang lebih pendek ke China, dibandingkan dengan tempat-tempat seperti Australia, dan ini berarti biaya pengangkutan yang lebih rendah dan waktu pengiriman yang lebih singkat. Indonesia juga memiliki sumber daya batu bara yang kaya, bahan utama untuk menjalankan operasi peleburan aluminium.